Idul Adha adalah hari raya yang selalu kita peringati setiap tahunnya. Yaitu Ied untuk mengingat kembali peristiwa pengorbanan 4000 atau 4500 tahun silam untuk menegakkan standar baru dalam pengorbanan melalui dua orang pilihan Tuhan. Akan tetapi pada waktu itu memotong atau menyembelih leher dijalan Allah taala telah dihentikan karena Allah taala berfirman kepada Nabi Ibrahim as: Saddaqtar ru’ya yaitu engkau telah menyempurnakan ru’ya. Artinya pengorbanan dengan memotong leher sudah diterima oleh Allah taala. Diumumkan bahwa sebagai ganti memotong leher manusia Allah taala ingin menegakkan contoh teladan sebuah zibhin ‘azhim atau penyembelihan agung. Yaitu zibhin azim yang nilainya sangat luhur sekali dari pada memotong leher manusia.
Untuk zaman ini adalah seorang Nabi Agung (Nabi Muhammad saw) telah direncanakan Tuhan untuk dilahirkan ke dunia, yang bukan hanya beliau sendiri bernazar, setiap waktu siap untuk menyerahkan seluruh jiwa raga dijalan Allah taala, bahkan beliau meniupkan spirit didalam jiwa raga para pengikut beliau yang setiap waktu menegakkan standar baru dalam pengorbanan.
Untuk zaman ini adalah seorang Nabi Agung (Nabi Muhammad saw) telah direncanakan Tuhan untuk dilahirkan ke dunia, yang bukan hanya beliau sendiri bernazar, setiap waktu siap untuk menyerahkan seluruh jiwa raga dijalan Allah taala, bahkan beliau meniupkan spirit didalam jiwa raga para pengikut beliau yang setiap waktu menegakkan standar baru dalam pengorbanan.
Kemudian dapat disaksikan dengan mata kita dalam tarikh bahwa beraneka ragam pengorbanan telah berjalan terus-menerus. Contoh teladan pengorbanan telah nampak terus ke permukaan dengan sangat mengherankan. Para sahabat satu sama lain berlomba dalam pengorbanan semata menginginkan ridho Allah taala. Jika ingin menyerahkan pengorbanan dengan sabar dan keberanian maka mereka siap setiap waktu mengikuti contoh teladan Junjungan mereka Rasulullah saw.
Apabila tiba waktu untuk diperlukan pengorbanan harta maka mereka yang telah memperoleh tarbiyyat dari Rasulullah saw siap untuk berlomba satu sama lain di dalam pengorbanan harta. Dan ketika waktu dibutuhkan untuk mengorbankan nyawa maka mereka telah memberi contoh teladan demikian relanya sehingga manusia merasa heran menyaksikannya.
Sejarah telah mencatat dan telah diabadikan di dalam Alquran tentang semangat mereka mengurbankan nyawa:
Dan, tidak pula ada celaan terhadap orang-orang yang ketika mereka datang kepada engkau supaya engkau menyediakan kendaraan bagi mereka, engkau berkata, “Aku tidak memperoleh sesuatu yang dapat mengangkut kamu;” mereka kembali dengan mata mereka berlinang oleh air mata karena sedih, disebabkan mereka tiak memperoleh apa-apa yang dapat mereka belanjakan.
Sejarah tentang tujuh orang Islam miskin yang berkeinginan keras untuk ikut dalam jihad, tetapi tidak memiliki syarat-syarat dan sarana-sarana untuk memenuhi keinginan mereka untuk ikut berjihad.
Perjalanan menuju medan perang sangat jauh, diperlukan kendaraan tunggangan yang tidak mereka milikinya. Mereka itu orang-orang miskin sehingga sepatupun tidak mereka miliki sedangkan perjalanan menuju medan jihad sangat sulit dan jauh. Menurut riwayat terbukti bahwa mereka itu hanya meminta sepatu supaya mereka bisa pergi bersama-sama kemedan perang. Mereka tidak memerlukan kuda untuk pergi ke medan jihad itu, tidak pula meminta seekor unta. Mereka hanya meminta sepasang sepatu supaya bisa ikut pergi ke medan jihad. Akan tetapi pada masa-masa permulaan Islam itu keadaan demikian miskinnya sehingga sepasang sepatupun para sahabah banyak yang tidak memilikinya. Sedangkan mereka sangat menanti dengan semangat kesempatan untuk mengorbankan jiwa-raga mereka dimedan jihad. Bahkan Allah taala berfirman bahwa mereka itu betul-betul orang mukmin yang memiliki semangat untuk berkurban.
Ketika permohonan mereka itu tidak dapat terpenuhi, jamaah Muslimin pada waktu tidak mampu menyediakan perlengkapan jihad sekalipun berupa sepasang sepatu, apalagi binatang tunggangan. Dikatakan kepada mereka bahwa apabila mereka dapat menyediakan sendiri alangkah baiknya. Disebabkan keadaan seperti itulah mereka merasa sangat sedih sekali dan menangis sambil mencucurkan air mata. “Aduhai sedihnya! Seandainya kami mampu menyediakan perlengkapan jihad itu pasti kami pergi ikut berjuang. Sekarang terpaksa kami kembali pulang kerumah sambil menanggung kesedihan, kami bukanlah orang-orang penakut. Harta dan jiwa raga, semuanya kepunyaan Allah taala. Kami setiap waktu menanti giliran dengan penuh harapan untuk mengurbankannya dijalan Allah taala.”
Dikala tiba masanya untuk berkurban mereka telah membuktikan iradah dan semangat mereka yang tengah berkobar itu, mereka betul-betul semangat tidak berpura-pura sebab mereka bukan orang-orang penakut. Maka, disebabkan keinginan-keinginan keras mereka itu untuk berkurban tidak terpenuhi secara amal nyata, mereka diberikan kedudukan dan martabah oleh Allah taala yaitu rodhiallahu anhu yakni Allah taala ridha kepada mereka.
Ketika Nabi Ibrahim dan Ismail a.s. memperoleh kegembiraan dari Allah taala dengan firman-Nya soddaqtar ru’ya maka telah lahir dari anak keturunan beliau seorang Nabi Agung yaitu Rasulullah saw yang telah menegakkan teladan zibhin azim dan beliau sendiri telah menegakkan mutu pengorbanan yang tinggi dikalangan para sahabah radhiallahu ‘anhum. Sehingga Allah taala menganugerahkan radhiallahu ‘anhum sebagai penghormatan kepada mereka. Sebagai ganjaran bagi pengorbanan mereka Allah taala telah menganugerahkan barang-barang keperluan dunia juga kepada mereka dihari-hari kemudian. Bahkan Negara dan pemerintahan juga dianugerahkan kepada mereka.
Tetapi sungguh sayang jika kita perhatikan dengan sungguh-sungguh pemerintahan orang-orang muslim banyak sekali memiliki kekayaan duniawi akan tetapi dari kekayaan itu tidak nampak adanya suatu keridhaan Allah taala yang dapat menunjukkan adanya qurub (kedekatan) Allah taala. Sekalipun mereka memiliki kedaulatan mutlak namun pemerintahan mereka berjalan dibawah pengaruh pemerintahan asing.
Kita telah melihat manakala kaum muslimin menerapkan semangat pengorbanan yang tiada taranya mereka telah dijadikan orang-orang yang patuh beribadah kepada Allah taala. Mereka telah mengibarkan bendera Rasulullah saw sampai kenegara-negara Eropa. Namun ketika di suatu masa ketika umat Islam lupa atau telah luntur nilai-nilai pengorbanan maka terpaksa beberapa negara dibawah kekuasaan mereka terlepas dari tangan mereka. Apabila telah melepaskan kewajiban tabligh Islam kemudian mengambil jalan serakah terhadap harta dunia maka akibatnya Pemerintahan mereka menjadi lemah dan kehormatan juga hilang sirna akhirnya mereka harus kehilangan segala-galanya, sehingga sekarang kebesaran dan kehormatan telah hilang dari Negara-negara kaum Muslim.
Ibnu Khaldun menerangkan bahwa faktor jatuhnya suatu peradaban, baik itu peradaban dunia maupun agama lebih banyak disebabkan oleh internal ketimbang faktor eksternal.
”Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral.
Lebih jelas Ibn Khaldun menyatakan:
Tindakan amoral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat dikalangan mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji cara-cara mencari nafkah, dan untuk menggunakan segala bentuk penipuan untuk tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, berjudi, menipu, menggelapkan, mencuri, melanggar sumpah dan memakan riba.”
Maka Moment Idul Adha ini adalah momen tepat bagi kita untuk menanamkan kembali semangat pengorbanan yang dilakukan semata-mata karena Allah. Kembali kepada Allah dan Rasulnya adalah semangat yang harus kita tanamkan. Kedekatan yang diikuti oleh rasa cinta dan rasa takut akan dosa, maka itulah yang akan mengarahkan pada semangat kita dalam melakukan pengorbanan.
Pengorbanan apa yang bisa kita persembahkan? apa hanya dalam bentuk hewan kurban saja? Sebuah ayat Alquran yang singkat dan sederhana tetapi ketika itu diaplikasikan akan berdampak luas dalam hal pada kebaikan. Di dalam ayat-ayat pertama Surah Albaqarah Allah taala menjelaskan bahwa salah satu ciri mereka yang bertakwa adalah mereka yang membelanjakan dari sebagian rezeki yang diberikan Allah kepada mereka. Rizq berarti, sesuatu yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, baik anugerah itu, bersifat kebendaan atau selain itu (Mufradat).
Jadi ketika kita menerapkan ayat ini maka cakupannya luas sekali. Rezeki hanya kita pahami hanya rezeki harta semata, walaupun dengan menerapkan ini saja manfaatnya akan berdampak luas dan nyata dalam hal kebaikan – tetapi juga rezeki itu juga termasuk rezeki kepintaran dan keahlian kita, meliputi juga rezeki tenaga, bahkan iman dan takwa kita juga termasuk dari rezeki dari Allah, karena keimanan dan ketakwaaan adalah karena karunia khusus dari Allah kepada kita.
Sebenarnya ini adalah suatu konsep Islam dalam hal pemerataan kekayaan, pemerataan keahlian dan pemerataan keimanan. Seorang yang meneruskan hartanya, meneruskan ilmunya dan meneruskan rezeki imannya ia sebenarnya ikut andil dalam pemerataan kepada saudara-saudaranya. Sebaliknya kebakhilan kita dari meneruskan harta, ilmu dan hikmah secara tidak langsung kita sedang menghambat lancarnya lingkaran kebaikan itu menyebar kepada orang lain.
- Kemiskinan tidak saja disebabkan karena faktor-faktor penyebab yang ada, tetapi juga disebabkan oleh kebakhilan orang-orang yang secara egois memonopoli kekayaan hanya untuk dirinya.
- Kebodohan di masyarakat terjadi sebenarnya juga karena kebakhilan dalam memonopoli ilmu dan tidak mau membagikannya. Orang dibiarkan bodoh.
- Begitu juga dengan kemunduran iman dalam masyarakat, itu terjadi bukan saja karena faktor eksternal melainkan juga karena kita sendiri yang menghambat alur kebaikan dan kebenaran dengan semestinya.
Maka alirkanlah semangat pengorbanan pada diri kita. Jangan menjadi penghalang bagi kebaikan orang lain, bahkan kebaikan diri kita sendiri.
Sumber : http://agama-islam.org
Related Post :
0 komentar:
Posting Komentar