Bagaimana seorang Muslim menghadapi ketidakekalan/ kefanaan dunia, berupa kehilangan harta, pekerjaan, kesenangan, bahkan kehilangan orang-orang terdekat yang kita sayangi. Kehilangan adalah hal yang tidak setiap orang bisa mampu menghadapinya, sehingga mengakibatkan kesedihan yang berkepanjangan, menyalahkan diri sendiri, depresi ataupun stress. Hal tersebut terjadi karena ketidakmampuan menangkap siklus kehidupan yang selalu berubah, datang dan pergi.
Sering kita mendengar cerita-cerita dramatis dalam kehidupan. Seseorang yang hari ini sehat besok sakit keras, pasangan yang nampak romantis tiba-tiba bercerai, usaha yang maju pesat tiba-tiba bangkrut, bahkan anggota keluarga yang hari ini tertawa riang besoknya sudah dipanggil oleh Sang Pencipta.
Mengenai ketidakkekalan barang ataupun kehidupan dan bagaimana muslim bersikap? Allah taala berfirman:
“Dan pasti akan Kami menguji kamu dengan sesuatu ketakutan dan kelaparan, dan kekurangan dalam harta dan jiwa dan buah-buahan; dan berikanlah kabar suka kepada orang-orang yang sabar. Orang-orang yang apabila suatu musibah menimpa mereka, mereka berkata ”Sesungguhnya kami kepunyaan Allah swt. dan sesungguhnya kepada-Nya kami akan kembali.” (Q.S 2: 155-156)
Ayat ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan ini tidak ada konsep kepemilikan mutlak atas barang ataupun kehidupan, yang ada hanyalah kepemilikan sementara dari Allah. Semuanya adalah milik Allah dan akan kembali juga kepadanya. Jadi jika kita tidak lagi menjadi pemilik dari sesuatu mengapa kita haus merasa kehilangan?
Tuhan adalah Yang Mempunyai segala yang kita miliki, termasuk diri kita sendiri. Bila Sang Pemilik itu, sesuai dengan kebijaksanaan-Nya yang tak ada batasnya, menganggap tepat untuk mengambil sesuatu dari kita, kita tak punya alasan untuk berkeluh-kesah atau mengerutu. Maka, tiap-tiap kemalangan yang menimpa kita, daripada membuat kita putus asa, sebaliknya hendaknya menjadi dorongan untuk mengadakan usaha yang lebih hebat lagi untuk mencapai hasil yang lebih baik dalam hidup kita. Jadi, rumusan yang ada dalam ayat ini bukan semata-mata suatu ucapan bertuah belaka, melainkan suatu nasihat yang bijak dan peringatan yang tepat pada waktunya.
Jadi ayat ini menyampaikan pesan bahwa ketika kita ditimpa suatu musibah kita tidak akan terkalahkan oleh rasa cemas dan takut, malah kita mengatakan dengan penuh keyakinan dan keimanan bahwa sesungguhnya kita adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Ayat ini juga mengandung makna bahwa Pemilik segala sesuatu yaitu Allah tidak akan merusak dengan tangannya sendri. Allah adalah pemilik diri kita yang senantiasa memelihara kita. Sebagai pemilik yang memelihara kita tentu Sang pemilik itu akan menghancurkan kita. Allah sewaktu-waktu memang mengembalikan seseatu untuk ditempatkan kembali di sisi-Nya tetapi tidak berarti Allah menghendai rusaknya hal tersebut, melainkan Allah telah memilihkan yang terbaik bagi sesuatu yang kembali kepada-Nya itu.Proses penghilangan tak selamanya berarti buruk atau jahat.
Dan bahkan sendainya Allah menghendaki semua yang ada disi kita maka kita bersedia untuk membawa dan menyerahkannya di jalan Allah. Ini adalah makna yang paling mulia.
Jadi bagaimana kita menyikapi ketidakkekalan/perubahan dan apa yang kita lakukan? Yang pertama adalah menyadari, menerima dan berhati besar terhadap fenomena ketidakkekalan/kefanaan dan yang terakhir berusaha membuat yang terbaik dari apa yang telah diberikan oleh Allah taala kepada kita. Sikap menerima, mengalir bersama kuasa Ilahi, menyesuaikan diri dengan perubahan bahwa tidak ada di dunia ini yang terjamin kekal –lah yang akan membuat hidup kita lebih bahagia dan dipenuhi dengan hidup yang bermakna. Jika hal ini tidak ada maka hal-hal buruk seperti yang disebutkan diatas akan selalu menghantui kehidupan kita.
Perubahan berupa kehilangan terjadi pada setiap orang, perubahan itu adalah hal yang mutlak, tidak ada cara yang bisa kita lakukan untuk menghentikannya. Yang bisa kita lakukan adalah menghadapi perubahan itu dan mengubahnya menjadi seseuatu yang lebih bermakna.
Dalam menghadapi musibah atau kehilangan kita sering kali melawati tahap yang panjang untuk proses penyembuhannya, luka yang kita dapat kita bersihkan, kita obati dan menunggunya sembuh, proses penyembuhan ini terkadang menyakitkan tetapi akan baik untuk jangka panjang kita. Sebaliknya ada juga yang mengambil cara pintas, dia ingin menghilangkan sakit, tapi tidak dengan proses pengobatan diatas tetapi lebih memilih kepada ”penghilang rasa sakit”, memang cukup ampuh, tetapi tidak menyelesaikan masalah, luka yang dia biarkan itu lama-lama menjadi infeksi dan bisa membunuhnya. Sifatnya semu, orang-orang beralih pada alkohol, makan yang berlebih, tak beranjak dari kamar dan nonton TV, bahkan yang lebih parah adalah sampai bunuh diri. Jadi untuk menghadapi musibah akibat perubahan-perubahan itu kita benar-benar harus terlibat dalam proses penyembuhannya. Kita minta penghiburan dari keluarga atau terapis.
Kemudian Sebagai mukmin kita tidak akan meinggalkan hal-hal berikut: Meningkatkan zikir (Q.S. 13:28), Meningkatkan doa (Q.S.2:153), Istighfar (Q.S. 71:10), Terus Berusaha (Q.S. 13:11)
Sumber : http://agama-islam.org
Related Post :
0 komentar:
Posting Komentar